Namun, Fairfax Media di Australia
mendapatkan sejumlah dokumen rahasia, termasuk nota yang diduga berisi
persetujuan dari Mantan Direktur Leighton Holdings, Wal King untuk
menggelontorkan uang suap senilai Rp 45 miliar. Uang suap ini diberikan
kepada perusahaan Monaco yang dirujuk oleh pejabat Irak untuk
mengerjakan kontrak pipa minyak senilai lebih dari Rp 800 miliar.
Investigasi yang dilakukan selama enam
bulan juga mendapatkan dugaan adanya upaya penyuapan senilai jutaan
dolar untuk mendapatkan kontrak di Indonesia dan Malaysia. Wal King yang
pernah menjadi Direktur Utama perusahaan itu selama 23 tahun tidak
menyadari adanya penyuapan seperti yang disebutkan laporan tersebut.
Menurut laman ABC, Kamis (3/10),
Leighton Holdings pada 2011 pernah memberikan laporan kepada
Kepolisian Federal Australia bahwa penyelidikan soal Irak dan
pembangunan kapal di Indonesia adalah kasus yang luar biasa. "Leighton
terus bekerja sama dengan Kepolisian Federal sementara mereka melakukan
penyelidikan. Kami tidak mengetahui adanya tuduhan baru atau kasus
pelanggaran etika," ujar sumber perusahaan.
Tuduhan baru muncul setelah Bank Sentral
Australia menghadapi klaim bahwa anak perusahaannya, Note Printing
Australia mencoba melakukan perjanjian ilegal dengan Irak di tahun 1998.
Komisi Investasi dan Sekuritas Australia (ASIC) mengatakan, laporan
tersebut menjadi urusan Kepolisian Federal karena aktivitas tesebut
diatur oleh Kode Kriminal Commonwealth yang berlaku.
Tetapi senator independen, Nick Xenophon
mengkritik ASIC. Menurutnya, ASIC harus memiliki kekuasan untuk
melakukan investigasi dalam kasus tersebut.
"Jika itu adalah sebuah perusahaan
Australia yang terdaftar, makanya harus dibawah ruang lingkup ASIC untuk
melihat suap yang dilakukan perusahaan yang berbasis di Australia atau
perusahaan asing yang beroperasi dengan perusahaan asal Australia,"
ujarnya.(esy/jpnn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar