Mengungkap Teka-teki Nabi Akhir Zaman
Beigitu
Bani Israil bebas dari kejaran bala tentara Firaun dalam peristiwa kejar-
mengejar yang menjadikan Firaun dan
segenap tentaranya tenggelam. Maka Bani Israil pun menjadi bangsa pilihan, Allah
berharap agar mereka memancarkan cahaya kebenaran di muka bumi. Alih-alih
menjadi manusia teladan, keturuna Nabi
Ya’qub (Israil) ini malah menjadi bangsa yang suka bikin onar dengan melakukan
serangkaian pelanggaran terhadap
perintah Allah. Membangkang, melanggar syariat, hingga menghina, menyakiti, dan
membunuh segenap nabi Allah ‘yaqtulunal anbiya bighairi haq’ adalah hal
biasa bagi bangsa yang hingga kini tetap biadab itu.
Karena
ulah mereka sendiri sehingga Allah mencabut kemuliaan dari mereka dengan
turunnya ketetapan Allah bahwa rasul terakhir tak akan terlahir dari keturunan
Bani Israil, sebagaimana tertuang dalam firman Allah (7:156-167) bahwa Nabi
Ummi yang nama dan ciri-cirinya tertera dengan jelas pada kitab Taurat dan
Injil yang mereka miliki.
Dalam
kitab perjanjian lama –yang disucikan oleh Yahudi dan Kristen— disebutkan bahwa
Allah akan memancarkan cahaya ajaran-Nya di pegunungan Paran, “Berkata ia
[Musa], ‘Tuhan datang dari Sinai dan terbit kepada mereka dari Seir; Ia tampak
bersinar dari pegunungan Paran dan datang dari tengah-tengah puluhan ribu orang
yang kudus; di sebelah kanan-Nya tampak kepada mereka api yang menyala’.”
(Ulangan, 33: 2). Paran adalah tempat tinggal Siti Hajar dan puteranya bernama
Ismail. “Maka tinggallah ia [Ismail] di padang gurun Paran, dan ibunya
mengambil seorang istri baginya dari tanah Mesir.” (Kejadian 21: 21).
Terkait
kedatangan rasul penutup, Isa as (Yesus) mewartakan pada kaumnya, Bani Israil bahwa
rasul penutup itu bernama Ahmad (Muhammad). “Ingatlah ketika Isa Ibnu Maryam
berkata, ‘Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu,
membenarkan kitab sebelumku, Yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan
datangnya seorang Rasul akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad [Muhammad]’.
Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti nyata,
mereka berkata, ‘ini adalah sihir yang nyata’." (QS. 61: 6).
Berdasarkan
fakta-fakta di atas, sebelum kelahiran Nabi Muhammad, pada dasarnya orang
Yahudi dan Nasrani telah mengenal [Muhammad] dengan baik sebagaimana mereka
menganal anak mereka sendiri, ‘ya’rifunahu kama ya’rifuna abna’ahum’
(QS. 2: 146). Karena nabi akhir zaman itu akan terlahir di gunung Paran (Makah)
lalu memancarkan cahaya Allah di Yatsrib (Madinah), maka segolongan Yahudi –salah
satu suku Bani Israil— melakukan ide konyol dengan cara membentuk koloni di Yatsrib
dengan harapan bahwa kelak dari komunitas merekalah terlahir nabi akhir zaman
itu.
Michael
H. Hart, dalam “The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History” hanya
menulis bahwa Muhammad lahir pada tahun 570 M, di kota Makkah, di bagian agak
selatan Jazirah Arabia, suatu tempat yang waktu itu merupakan daerah yang
paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat perdagangan, seni maupun ilmu
pengetahuan. Menjadi yatim-piatu di umur enam tahun, dibesarkan dalam situasi
sekitar yang sederhana dan rendah hati. Hart tidak mencantumkan tanggal dan
bulan kelahiran Nabi dengan pasti. Menurut sejarwan kontemporer Amerika, Tamim
Ansari dalam “Destiny Disrupted: A History of the World Through Islamic Eyes”
hal ini dikarenakan kelahiran seorang Muhammad bukanlah peristiwa penting,
makanya tidak ada yang begitu peduli untuk mencatat dengan pasti kapan persis
ia terlahir, hanya sebuah peristiwa besar yang terjadi tahun itu yang tak bisa
luput dari ingatan bangsa Arab. Bahwa tahun kelahiran Muhammad bertepatan
dengan datangnya pasukan gajah dari Syam dipimpin oleh Raja Abrahah untuk
menyerang dan menghancurkan Baitullah (Kakbah), namun gagal karena pasukannya
terkena lontaran batu panas ‘sijjil’ dari neraka yang dibawa oleh burung yang
berbondong-bondong. Dengan jelas peristiwa ini tertera dalam Alquran (QS.
105:1-5). Untuk itulah tahun kelahirannya disebut tahun gajah ‘’amul fil’. Al-Mubarakfury menetapkaan bahwa Rasulullah
lahir pada hari Senin pagi 9 Rabiul Awwal, bertepatan dengan 20 atau 22 April 571 M. (Almubarakfury ‘Arrahiq Al-Makhtum’).
Sesuai
dengan kebiasaan para bangsawan Mekkah, ibunya menyerahkan Muhammad kecil
kepada Halimah Sa’diyah dari kabilah Bani Sa’d untuk disusui. Beliau tinggal di
rumah Halimah selama empat tahun. Setelah itu, sang ibu mengambilnya kembali.
Dengan tujuan untuk berkunjung ke kerabat ayahnya di Madinah, sang ibunda
membawanya pergi ke Madinah. Dalam perjalanan pulang ke Mekkah, ibunya wafat lalu
dikebumikan di Abwa`, sebuah daerah yang terletak antara Mekkah dan Madinah.
Setelah itu, kakek dan pamannya, Abdul Muthalib dan Abu Thalib memeliharanya.
Di
bawah asuhan sang paman, Abu Thalib, beliau hidup mandiri dengan mengembala
domba dan kambing. Pamannya bukanlah
orang kaya karena kekeknya –Abdul Muttalib—tak mewariskan harta yang banyak untuk anaknya
menjelang wafat. Pada
usia dua belas tahun, mereka berdua ikut bersama rombongan saudagar ke negeri
Syiria. Di Bostra, dekat sebuah persinggahan para kafilah berdiri sebuah biara
yang dihuni seorang pendeta dari masa ke masa. Ketika sang pendeta meninggal,
yang lain datang untuk tinggal dan menjadi pelayan Tuhan sambil mewarisi
seluruh kekayaan biara itu, termasuk peninggalan berupa sejumlah manuskrip
kuno. Salah satunya tentang ramalan akan datangnya seorang nabi di tengah
masyarakat Arab. Namanya Bahira, yang tinggal di biara itu, seorang pendeta
yang benar-benar menguasai manuskrip ramalan tersebut, termasuk meyakini jika
nabi itu akan datang pada masanya.
Selama
tinggal di biara, dia selalu mengetahui seluruh kafilah saudagar Mekkah yang
pasti singgah tak jauh dari biaranya. Kali ini, perhatiannya tersita pada
segumpal awam bergelayut rendah bergerak di atas kepala salah satu kafilah, dia
mendekat, perhatiannya berubah menjadi kekaguman karena begitu mereka berhenti
awan pun turut berhenti. Ajaibnya, tidak hanya awan, malah daun dan ranting
pohon tempat berteduh mereka turut merunduk menaungi kafilah itu. Segera ia
terfikir akan nabi akhir zaman.
Karena
itu, Bahira bermaksud menjamu mereka, menyuguhkan seluruh makanan yang
dimilikinya. “Wahai kaum Quraisy! Aku telah menyediakan makanan untukmu.
Datanglah semua, tua muda, budak atau merdeka!” ajak Bahira. Mereka pun datang
dengan senangnya, kecuali seorang anak yang disuruh untuk menjaga unta dan
barang-barang kafilah di belakang. Ketika jamuan hendak dimulai, pendeta itu
memeriksa satu per satau tamunya, dan tak melihat seorang pun sesuai ramalan
itu. Mungkin masih ada yang tersisa, fikirnya.
“Wahai
kaum Quraisy! Jangan ada satu pun yang tinggal!” seru Bahira. “Tidak ada
seorang pun yang tertinggal kecuali seorang kanak-kanak!” timpal seorang
kafilah. “Jangan perlakukan demikian, ajak dia kesini untuk menghadiri
perjamuan makan ini!” kata sang pendeta.
Abu Thalib dan lainnya saling menyalahkan, salah seorang bergumam, “Kita
benar-benar terkutuk, anak Abdullah kita tinggalkan sendirian lalu kita makan
enak-enak!” segera ia berlari menemui anak itu, memeluknya dan membawanya
bersama. Pandangan
sekilas pada anak yang diabaikan tadi, sudah cukup menjelaskan Bahira akan
adanya mukjizat, tapi ia harus memastikan. Jamuan pun bermula, mereka bersantap
dengan lahapnya. Menjelang bubar, sang pendeta mendekati tamu termudanya, lalu
mengajukan banyak pertanyan dengan sopan, dan Muhammad menjawabnya tanpa beban.
Hanya seputar gaya hidup ‘dayly activity’, dari bangun pagi hingga tidur malam.
Muhammad juga tak keberatan ketika Bahira memeriksa punggungnya dengan melepas
bajunya. Cukup sudah, pada punggung anak ini tedapat cap kenabian persis apa
yang dituliskan dalam manuskrip ramalan yang dikuasainya itu.
“Apa
hubunganmu dengan anak ini?” tanya Bahira pada Abu Thalib. “Dia anakku,”
jawabnya enteng. “Kamu bohong, dia bukan anakmu, ayahnya telah wafat!” tegas
Bahira. “Dia anak saudaraku,” kata Abu Thalib. “Ayahnya sudah meninggal ketika
anak itu masih dalam kandungan!” timpal yang lain. “Nah, itu yang betul!” tegas
Bahira.
“Segera
bawa anak saudaramu ini pulang, dan lindungi dia dari kaum Yahudi. Demi Tuhan,
kalau mereka mengenalnya sebagaimana yang aku tau, pasti mereka akan berbuat
jahat padanya! Anak saudaramu ini kelak akan menjadi orang besar.” Nasihat
Bahira pada Abu Thalib. (Martin Lings, ‘Muhammad; His Life Based on Erliest
Resources’).
Ramalan
sang pendeta bukanlah isapan jempol belaka, ketika berumur 40 tahun, Muhammad
diangkat sebagai nabi dan rasul pamungkas. Mulai berdakwah dengan mengajak
keluarga dan penghuni Kota Mekkah. Ada yang menerima namun lebih banyak yang
menolak. Sebelum akhirnya hijrah ke Madinah pada tahun ke-12 setelah turunnya
wahyu.
Secara
umum Muhammad SAW dapat diterima di Mekkah karena nasab dan track record-nya
yang mulia namun ditolak karena mengajarkan kepercayaan monotheis sebagaimana
beliau dapat diterima oleh orang Yahudi karena ajaran monotheisnya, namun
ditolak karena bukan dari keturunan Bani Israil.
Ilham
Kadir, Mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar, Pengurus BKPRMI dan FUI Sulsel, dan
Peneliti LPPI Indonesia Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar